- Back to Home »
- Wisata Jogja »
- Jalan Malioboro Yogyakarta
Posted by : Unknown
Sunday, November 2, 2014
Jalan Malioboro Yogyakarta
Sejak awal degup jantung Malioboro berdetak telah menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian perkotaan. Setiap bagian dari jalan Malioboro ini menjadi saksi dari sebuah jalanan biasa hingga menjadi salah satu titik terpenting dalan sejarah kota Yogyakarta dan Indonesia. Bangunan Istana Kepresidenan Yogyakarta yang dibangun tahun 1823 menjadi titik penting sejarah perkembangan kota Yogyakarta yang merupakan soko guru Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari bangunan ini berbagai perisitiwa penting sejarah Indonesia dimulai dari sini. Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda. Istana Kepresidenan Yogyakarta sebagai kediaman Presiden Soekarno beserta keluarganya. Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947), diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (pada tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Republik yang masih muda itu pun dibentuk dan dilantik di Istana ini pula. Benteng Vredeburg yang berhadapan dengan Gedung Agung. Bangunan yang dulu dikenal dengan nama Rusternburg (peristirahatan) dibangun pada tahun 1760. Kemegahan yang dirasakan saat ini dari Benteng Vredeburg pertama kalinya diusulkan pihak Belanda melalui Gubernur W.H. Van Ossenberch dengan alasan menjaga stabilitas keamanan pemerintahan Sultan HB I. Pihak Belanda menunggu waktu 5 tahun untuk mendapatkan restu dari Sultan HB I untuk menyempurnakan Benteng Rusternburg tersebut. Pembuatan benteng ini diarsiteki oleh Frans Haak.Kemudian bangunan benteng yang baru tersebut dinamakan Benteng
Vredeburg yang berarti perdamaian.
Vredeburg yang berarti perdamaian.
Sepanjang jalan Malioboro adalah penutur cerita bagi setiap orang yang
berkunjung di kawasan ini, menikmati pengalaman wisata belanja sepanjang
bahu jalan yang berkoridor (arcade). Dari produk kerajinan lokal
seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan
kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas
Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual
pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat lain. Pengalaman lain
dari wisata belanja ini ketika terjadi tawar menawar harga, dengan
pertemuan budaya yang berbeda akan terjadi komunikasi yang unik dengan
logat bahasa yang berbeda. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga atau
bahkan separohnya. Tak lupa mampir ke Pasar Beringharjo, di tempat ini
kita banyak dijumpai beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Di
pasar ini kita bisa menjumpai produk dari kota tetangga seperti batik
Solo dan Pekalongan. Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar
mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah
bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja
barang-barang unik dengan harga yang lebih murah. Berbelanja di kawasan
Malioboro serta Beringharjo, pastikan tidak tertipu dengan harga yang
ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan harga dari biasanya bagi
para wisatawan.
Malioboro terus bercerita dengan kisahnya, dari pagi sampai menjelang tengah malam terus berdegup mengiringi aktifitas yang silih berganti. Tengah malam sepanjang jalan Malioboro mengalun lebih pelan dan tenang. Warung lesehan merubah suasana dengan deru musisi jalanan dengan lagu-lagu nostalgia. Berbagai jenis menu makanan ditawarkan para pedagang kepada pengunjung yang menikmati suasana malam kawasan Malioboro. Perjalanan terus berlanjut sampai dikawasan nol kilometer kota Yogyakarta, yang telah mengukir sejarah di setiap ingatan orang-orang yang pernah berkunjung ke kota Gudeg ini. Bangunan-bangunan bersejarah menjadi penghuni tetap kawasan nol kilometer yang menjamu ramah bagi pengunjung yang memiliki minat di bidang arsitektur dan fotografi.
Malioboro terus bercerita dengan kisahnya, dari pagi sampai menjelang tengah malam terus berdegup mengiringi aktifitas yang silih berganti. Tengah malam sepanjang jalan Malioboro mengalun lebih pelan dan tenang. Warung lesehan merubah suasana dengan deru musisi jalanan dengan lagu-lagu nostalgia. Berbagai jenis menu makanan ditawarkan para pedagang kepada pengunjung yang menikmati suasana malam kawasan Malioboro. Perjalanan terus berlanjut sampai dikawasan nol kilometer kota Yogyakarta, yang telah mengukir sejarah di setiap ingatan orang-orang yang pernah berkunjung ke kota Gudeg ini. Bangunan-bangunan bersejarah menjadi penghuni tetap kawasan nol kilometer yang menjamu ramah bagi pengunjung yang memiliki minat di bidang arsitektur dan fotografi.